Sejak didirikan tahun 2008, orang-orang tidak sulit menemukan Gedung Komunitas Salihara. Gedung ini juga menjadi mudah ditemukan karena dekat dengan Gelanggang Remaja Pasar Minggu.
Berlokasi di Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, gedung ini memiliki penanda plang besar bercahaya bertuliskan “Salihara no. 16”. Plang ini membuat orang-orang mudah menyadari bentuk bangunannya yang berbeda dengan sekitarnya. Saya pribadi sering datang berkunjung kemari, terutama karena tertarik dengan pameran-pameran yang diselenggarakan di Galeri Salihara.
Sepanjang saya menjelajah galeri, tidak banyak galeri yang ruangnya berbentuk lingkaran. Galeri Salihara adalah salah satu galeri berbentuk tidak biasa itu. Bentuknya yang melingkar menjadikan galeri ini sangat cocok untuk menyelenggarakan pameran seni rupa yang naratif dimana antara satu karya dengan karya lainnya memiliki kesatuan erat sebagai satu cerita utuh.
Misalnya pada pameran tunggal Melissa Sunjaya berjudul Bio Fantasy (2016) dimana Melissa tidak hanya memajang karya-karya visualnya tetapi juga menuliskan teks cerita fiksinya yang berkaitan dengan karya-karya Chairil Anwal.
Karya visual dan tulisan Melissa kemudian disandingkan dengan puisi-puisi Chairil Anwar yang dapat dibaca pengunjung menggunakan lembaran pelastik berwarna merah. Saya menikmati bergerak mengitari ruang bundar itu sambil membaca cerita serta meresapi visual yang disajikan.
Dan tiba-tiba saja saya sudah sampai di karya terakhir Melissa. Pola naratif seperti itu juga diterapkan Hanafi dalam pamerannya berjudul Xalischo (2017) yang memang bertujuan mengilustrasikan novel Pedro Paramo karya Juan Rulfo.
Bentuk galeri yang bulat juga membuat pengunjung memperoleh sudut pandang lebih luas. Ini sangat cocok untuk menghadirkan mural lebar memanjang seperti suatu lanskap. Pada pameran Xalischo, Hanafi melukis mural pemandangan alam gersang Mexico.
Sebelumnya, tahun 2015, Eko Nugroho pun berpameran disini dan menyajikan beragam instalasi dan mural lebar lanskap kartun yang sangat khas Eko Nugroho. Melihat mural besar di dinding yang melengkung itu membuat saya merasa seperti ikut tersedot masuk ke dalam karya si seniman.
Ukuran Galeri Salihara juga terbilang cukup luas. Diameternya yang 20 meter memungkinkan seniman memasang instalasi besar. Seperti karya Eddi Prabandono pada pameran Obscure (2017) dimana ia menyusun berbagai tiang rambu lalu lintas di tengah galeri, sementara rekannya, Andy Dewantoro, menggantung lukisan-lukisannya pada dinding galeri.
Sebelumnya di tahun 2015 dua kurator Anna-Sophie dan Etienne Turpin juga memanfaatkan luas galeri dan menghadirkan instalasi dokumentasi 125.660 spesies mahluk hidup dari berbagai negara.
Keunggulan Galeri Salihara lainnya ada pada tata suaranya yang baik. Sebenarnya sejak awal pun galeri ini diatur agar dapat dipakai sebagai tempat pertunjukan akustik. Namun ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk karya-karya sound-art. Misalnya pada Pameran Kompetisi Karya Trimatra 2016 dimana salah satu finalis, Reza Zefanya, menghadirkan rekaman suara dirinya memperingatkan pengunjung agar tidak menyentuh karya.
“Mas! Mas! Karyanya jangan disentuh!”, “Tolong tangannya dijaga, ya, Mbak!” demikian kira-kira bunyinya.
Suara dari satu speaker itu dapat menjangkau seluruh bagian galeri sehingga saya selalu merasakan Reza menegur saya dari belakang, kemana pun saya berpindah. Saya rasa hal ini juga dikarenakan bentuk galeri yang bundar.
Bentuk galeri yang tidak memiliki sudut ini membuat saya tertarik untuk datang kembali. Rasanya selalu penasaran untuk melihat bagaimana seniman dan kurator lain akan merespon dan mengeksplorasi ruang bundar Galeri Salihara ini. []
* Yohanes Pangaribuan lahir di Medan, 13 Maret 1993, adalah seorang PNS yang memiliki ketertarikan terhadap dunia seni rupa. Berkunjung dan mengulas pameran atau karya adalah hobinya. Berbagai ulasan singkatnya dapat dilihat pada akun instagramnya @bogoroditsye.