
Perupa perempuan mengguncang persepsi publik tentang tubuh perempuan melalui karya seni rupa kontemporer. Mereka memprotes konstruksi sosial dimana posisi perempuan tidak layak menjadi masyarakat kelas dua. Perempuan dengan karyanya adalah keseimbangan kosmos dalam peradaban manusia.
Enam perupa ini menasbihkan Kembang Goyang sebagai frasa kritis hingga menjadi sebuah counter-discourse atas pemahaman tubuh perempuan yang seringkali menjadi objek diskriminasi gender, kekerasan seksual, pelecehan, dan tindakan laki-laki yang melanggar Undang-Undang Perlindungan KDRT, misalnya. Kembang adalah simbol tubuh perempuan dan Goyang diartikan sebagai aksi yang mengguncang nalar publik di masyarakat patriarki. Pameran Kembang Goyang digelar di Cemara 6 Gallery – Museum, Jalan HOS Cokroaminoto No. 9 – 11, Menteng, Jakarta Pusat, pada tanggal 13 – 26 September 2018.
Yoshara Eltyar Syahida menyajikan karya instalasi dengan material tekstil melalui lima bentuk penutup tubuh perempuan – pakaian – mulai dari pakaian tidur (lingerie) hingga baju hijab. Shara, panggilan akrab seniman muda dari Bandung Selatan ini mengatakan bahwa karya-karyanya merupakan akumulasi dari berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang disebabkan oleh persoalan bentuk pakaian korban kekerasan yang seringkali terjadi di tengah masyarakat Asia.

Shara, mengatakan pada malam persiapan pembukaan pameran Kembang Goyang, bahwa karyanya secara garis besar berisi narasi persoalan keseharian yang dihadapi oleh perempuan. “Salah satu hal negatif yang selalu perempuan dapat itu kejahatan seksual. Salah satu hal yang menyedihkan itu adalah blaming victim itu. Faktor pakaian yang selalu disalahkan. Karena pakaian itu salah satu faktor yang paling disalahkan.
“Saya ingin menunjukkan pakaian yang paling terbuka hingga pakaian yang paling tertutup. Lima bentuk pakaian itu bisa menjelaskan bagaimanapun kamu pakai pakaian, tapi tempatnya tepat tidak ada yang salah. Warna putih pada hakikatnya terlahir suci dan benang merah merepresentasikan kekuatan perempuan untuk menutupi tubuhnya,” ungkap Yoshara Eltyar Syahida di Cemara 6 Gallery – Museum, Jakarta.
Indita Dwi Utami, juga menyajikan karya intalasi seni berupa benang-benang yang menggantung tabung infuse berisi bunga mawar dan berujung pada potongan bagian-bagian tubuh perempuan. Bagian tubuh perempuan yang dituntut oleh kaum laki-laki harus elok, sekki dan sempurna. Indita mengatakan bahwa karyanya itu lahir dari kegelisahannya sebagai perempuan masa kini.

Kehidupan keluarganya di Lampung dan Kalimantan Barat juga menginspirasi karyanya. Salah satunya adalah pepatah dari nenek moyangnya dari salah satu suku dayak, bahwa perempuan itu kalau tidak memiliki anak dikatakan perempuan yang tidak sempurna dan dijauhi oleh masyarakat. Dalam konteks hari ini ia mengutip sebuah persepsi publik dari kaum laki-laki bahwa tubuh perempuan itu harus indah dan sempurna bagi kaum laki-laki.
“Banyak wanita dituntut untuk memiliki tubuh yang ideal, elok, cantik. Mengapa pola pikirnya yang dilihat atau apapun yang sudah diperbuat untuk masyarakat dan dirinya. Kenapa kita dituntut untuk sempurna. Laki-laki tidak punya tubuh ideal tapi istrinya cantik. Ada ketidakadilan, tidak seimbang. Infuse yang saya gunakan pada karya itu simbol medical Kecantikan itu adanya di medical. Dan mawar simbol kita sebagai perempuan. Bagian-bagian tubuh itulah yang dituntut oleh kaum Adam untuk terlihat sempurna. Hingga beberapa wanita berusaha mengubah bentuk bagian tubuhnya agar terlihat sempurna,” kata Indita Dwi Utami.
Karya itu representasi dari gagasan kritis perupa muda ini dalam menanggapi persoalan keseharian yang sering dialami bersama perempuan lainnya di tengah masyarakat kita. Apakah kita sempurna? Untuk apa kesempurnaan fisik yang bersifat fana itu?

Selain perupa muda perempuan, Nia Gautama juga terlibat dalam pameran ini sebagai seniman yang menampilkan tiga bagian tubuh perempuan yang paling kuat dan rentan sekaligus, patung rahim. Perupa perempuan yang juga feminist dari Bandung ini membicarakan fakta tentang betapa kuatnya tubuh perempuan.
“Saya tidak bicara kesakitan atau penindasan dan sebagaimanya karena itu isu yang setiap kali kalau misalnya karya bicara tentang perempuan pasti bicara sakit. Tapi bagaimana caranya menghindari supaya kita tidak sakit itu, kita jadi perempuan itu harus kuat sendiri. Kekuatan itu harus ada dari dalam sendiri. Jadi saya sudah tidak bicara lagi saya ini tertindas, tapi lebih pada reminder aja. Pengingat kepada kaum laki-laki, bahwa kamu datang dari tubuh perempuan. Jadi ingatlah itu!” kata Nia Gautama di Cemara 6 Gallery – Museum, Jakarta.
Dike Trivinggar, kurator pameran Kembang Goyang, menuturkan bahwa pameran ini memang mengangkat isu dan tema perempuan oleh perupa yang lahir dari Telkom University, Bandung, dan salah satu pengajarnya, yaitu Nia Gautama.
“Di Indonesia tidak ada isu gender yang besar atau spesifik yang dibahas, tetapi ada sesuatu yang sudah taken for granted dalam keseharian. Perempuan harus lebih aware soal isu-isu itu yang sudah membudaya secara tidak disadari. Isu-isu perempuan atau gender justru berangkat dari keseharian, hal-hal yang tidak nampak itu yang harus lebih peka dan speak out,” kata kurator pameran.

Perupa perempuan dalam pameran Kembang Goyang menyuarakan isu-isu gender dan pengalaman keseharian perempuan yang umumnya terjadi di masyarakat luas. Kesadaran tubuh yang seringkali jadi objek kekerasan dan diskriminasi tak luput dari amatan personal mereka.
Peristiwa yang dianggap diskrimitasi terhadap perempuan juga dialami oleh Mega Dwi Anggraeni di Bandung pagi hari ini. Dia mendapat kesempatan sebuah pekerjaan yang tidak bisa diambilnya, lantas, Mega merekomendasikan pekerjaan itu kepada kawann perempouanya yang sudah punya anak. Namun, kawannya yang direkomendasikan itu ditolak dengan alasan gender.
“Seharusnya pekerjaan tidak memandang jenis kelamin. kalau dia siap melaksanakan pekerjaan yang mayoritas dikerjakan oleh laki-laki, mengapa tidak?” kata Mega Dwi Anggraeni di Perum Sukaluyu, kota Bandung.
Mengapa tubuh perempuan selalu menjadi soal? Dalam pameran inilah nalar kaum laki-laki yang menghegomoni pengetahuan tentang perempuan digugat secara artistik.
Masih tidak mudah menjadi perempuan. Dibalik segala bentuk kemajuan yang sudah dicapai oleh gerakan perempuan dan segala janji-janji tentang kesetaraan gender, perempuan secara individu belum berhenti mengahdapi berbagai stigma dan stereotipe dari masyarakat yang menggoyahkan konsep diri dan persepsi tubuh mereka.[]