
“Estetika warna #2” (2017) 200 cm x 220 cm, media campur di atas kanvas. FOTO: Gusmen Heriadi.
Lukisan-lukisan teranyar Gusmen Heriadi memiliki daya pukau nan artistik. Daya pikatnya pada warna dan tekstur yang unik membuat lukisannya berbeda dari seri sebelumnya. Hal itu nampak jelas pada lukisan-lukisan abstrak yang belum dipamerkan hingga lukisan-lukisan yang dipajang dalam pameran tunggalnya bertajuk “Deep Skin – Skin Deep” di Ciptadana Center, Jakarta Pusat, pada tanggal 23 November – 14 Desember 2018 silam. Di akhir tahun 2018 ini Gusmen Heriadi membuat penanda penting atas pencapaian estetik dari seri lukisan dengan tekstur-tekstur yang bervolume.
Lukisan-lukisan abstrak ekspresionis dengan tekstur bervolume dari Gusmen Heriadi tampil seperti lanskap-lanskap puitik dalam ruang lukisan-lukisannya. Figur-figur atau objek-objek pun dihadirkan bersama lanskap bidang-bidang warna.
Gusmen Heriadi tidak ingin mengungkap maksud dari karyanya ini, misteri artistik itulah yang hendak disharing kepada penikmat seni hari ini. Keindahan justru bukan pada kulit luarnya. Apa yang ada di balik permukaan itulah yang menjadi perhatian Gusmen Heriadi. Saya bisa nyatakan bahwa khazanah budaya Nusantara dan budaya urban memberikan inspirasi artistik bagi seorang Gusmen Heriadi untuk menyajikan sisi terdalam dari sebuah entitas yang nyata atau bayang-bayang yang menyertainya.
Sudah cukup lama saya mengamati kecenderung karya-karya Gusmen Heriadi yang terakhir ini. Karya-karyanya masih naratif namun tidak cerewet secara visual, meski setiap karyanya dibubuhkan dengan pernyataan-pernyataan penting sebagai wacana yang muncul di setiap karyanya. Pernyataan berikut dibubuhkan pada karya yang diberi judul Estetika Warna #2 (2017);
“Jangan hanya memakai satu warna. Karena dalam keberagaman warna, keindahan itu ada.”
Gusmen Heriadi memang tidak bermaksud menjelaskan setiap karyanya dengan pernyataan-pernyataan penjelas atau sebuah upaya menggiring opini penikmatnya pada pernyataan itu. Saya melihat pernyataan itu laiknya sebuah kalimat-kalimat filosofis yang kemudian membuka ruang perbincangan di luar bahasa rupa yang disajikannya.
Filsafat kontemporer memang lazim digunakan dalam praktik seni rupa kontemporer oleh seniman-seniman kontemporer. Filsafat kontemporer apa yang disematkan bersama lukisan-lukisannya? Siapapun boleh menafsir dan membubuhkan filsafat yang mungkin berelasi antara daya imaji penikmat dan penampang artistiknya. Gusmen Heriadi, sesungguhnya, banyak menggunakan filsafat orang Minang-Pariaman, di mana setiap laku-langkah seorang perantau disertai falsafah untuk tetap membaur dengan ekosistem masyarakat yang disinggahinya untuk kemudian menjadi bumi yang dijunjunjungnya.

“Suka-Luka” (2018) 200 cm x 200 cm, media campur di atas kanvas. FOTO: Gusmen Heriadi.
Ruang-ruang diskursif pada filsafat ini malah menjadi lebih menarik minat bagi penikmat karya sastra dan filsafat tentunya. Karena tidak lagi membincangkan penampang di permukaan pada sebuah lukisan. Tetapi sebuah ruang dialog antara seniman dengan penikmatnya di hadapan karyanya untuk menggali imaji-imaji personal mengenai persoalan yang dipetik oleh seniman.
Kecenderungan visual yang terakhir ini pun nampaknya membuka ruang diskursif mengenai material yang digunakan pada lukisan-lukisannya. Sebagian karya-karyanya menyuguhkan kesederhanaan bentuk dan bidang warna yang menonjol melalui tekstur pada bidang tertentu. Bahkan bisa dikatakan seperti sebuah pemisahan atau lebih kurang sebuah tabir yang sengaja dihadirkan melalui bidang-bidang warna bertekstur itu yang memicu penikmatnya untuk masuk ke dalam ruang artistik itu dan menikmati setiap goresan warna atau sapuan cat.
Lukisan Suka Luka (2018) memuat teks “Setiap ada yang kita suka, nyaris ada hal lain yang terluka. Atau dilukai.” Seorang figur perempuan yang dengan semua atribut keindahan tubuh dan kehadirannya tengah duduk bersimpu dengan pandangan ke langit; menunjukkan rasa terdalamnya pada dunia. Dunia glamor dengan rayuan atas kecantikan atau keindahan yang menyimpan luka di sisi ruang dalamnya. Gusmen Heriadi menangkap persoalan di bawah permukaan dunia model atau selebriti yang selalu dicitrakan sempurna sebagai konsumsi budaya penampilan bagi konsumennya.
Kehidupan seorang model perempuan atau perempuan biasa selalu menjadi konsumsi visual para lelaki yang memuja keindahan yang sempurna dengan atribut yang dibuat untuk menutupi segala sisi kekurangannya. Tetapi kekurangan yang selalu menjadi selubung atas luka itu tetap ada di balik tabir atribut-atribut yang diciptakan oleh kreator. Gusmen berinteraksi dengan rasa itu di ruang terdalamnya untuk membincangkan ikhwal manusia sebagai manusia yang berperan untuk hadir dengan ‘bungkus’ keindahan sempurna.
Gusmen Heriadi tidak melulu mengekspos kebendaan melalui bidang-bidang bertekstur, masih ada karya lain yang menyajikan sebuah figur-figur elok bak sebuah hasil freezing fotografis dari suatu moment yang terjadi dalam sebuah cat walk seorang model. Pada karya-karya ini Gusmen Heriadi seperti mengunggah persoalan fashion design yang coba dibongkar kemudian memetik bagian yang dianggap menarik dari sebuah desain pakaian ke dalam fokus perhatian partikularitas.

“Nafas Semesta” (2018) 120 cm x 200 cm, media campur di atas kanvas. FOTO: Gusmen Heriadi.
Partikularitas yang dimaksud memungkinkan kita bicara mengenai lukisan yang sudah berjarak dengan tradisi material dalam seni lukis. Seniman berupaya menyampaikan pokok persoalan di luar perkara teknik dan material lukisan atau bahkan di luar lukisan itu sendiri – seperti yang sudah saya curigai dengan kehadiran pernyataan-pernyataan filsafat tadi.
Apa yang hendak dibuka kembali dari penyematan tabir visual (tekstur) pada karyanya? Itulah yang menarik dibincangkan. Apakah kita memulainya dengan filsafat bahasa atau filsafat keindahan? Keduanya dapat dibuat saling silang perdebatan untuk membangun sebuah pemahaman demokrasi dari seniman dan penikmatnya.
“Karya yang baik itu tidak perlu dijelaskan oleh senimannya. Hal menarik justru dapat muncul dari pembacaan penikmat karya seni tanpa harus dijelas-jelaskan sehingga hilang nilai mesterinya,” kata Gusmen Heriadi di studionya.
Lukisan yang lahir selalu terkait dengan persoalan manusia dan peradabannya di sekitranya. Fenomena yang teramati oleh seniman dapat dengan mudah ditangkap untuk dipetik menjadi hal yang menarik. Misalnya, bagaimana sebuah bahasa rupa dibangun oleh struktur bahasa seni lukis dan diolah dengan kekuatan teknis adalah hal yang selalu menarik perhatian penikmat seni.

Menyelami semestanya, menemukan keteduhan keteduhan-Nya yang serba rahasia dan tak terduga.
“Menyelami Kepala” (2018) 150 cm x 120 cm, media campur di atas kanvas. FOTO: Gusmen Heriadi.
Gusmen Heriadi menangkap fenomena keseharian yang dipindai dari sebuah budaya konsumerisme melalui perangkat informasi digital yang di dalamnya menyebarkan informasi paling up-to-date yang menjadi ikon budaya kontemporer dalam upaya masyarakat kontemporer untuk tetap eksis di era digital saat ini. Budaya kontemporer yang ‘dibaca’ dengan sudut pandang budaya masyarakat perantau dari Pariaman itulah yang kemudian mendorong Gusmen Heriadi selalu mencari, menemukan, mengolah dan melahirkan karya-karya baru yang beririsan dengan keseharian masyarakat global di tengah percepatan arus informasi yang menyebarkan bentuk-bentuk budaya teranyar.